Wednesday, September 28, 2011

Malam Lebaran

Malam Lebaran
Bulan di atas kuburan

Sitor Situmorang


Parafrase Puisi:
Lebaran, sebagaimana dipahami banyak orang, merupakan saat-saat penuh kebahagiaan bagi umat yang merasa dirinya beriman setelah berhasil menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Tak dapat disangkal, apa pun pangkat, kedudukan, dan status sosialnya, nyaris semua orang tenggelam dalam euforia hari raya itu. Mudik, makan ketupat, parsel makanan, baju baru, silaturahmi, berebut uang fitrah, dan masih banyak lagi yang lainnya. Benarkan yang demikian ini disebut sebagai hari kemenangan? Dalam puisinya yang berjudul Malam Lebaran, Sitor Situmorang memberikan pandangan yang berbeda mengenai hari lebaran. Dengan kepiawaiannya membangun simbolisme dan kekuatan menciptakan citraan, Sitor berhasil menyampaikan sebuah kritik terhadap kesalahkaprahan masyarakat dalam memaknai hari lebaran.

Beberapa sumber mengatakan, puisi Malam Lebaran ini dilatarbelakangi oleh peristiwa yang terjadi pada malam lebaran ketika Sitor Situmorang hendak pergi ke rumah Pramoedya Ananta Noer. Ternyata ia tersesat. Ketika ia tersesat, ia melihat sebuah tembok putih. Ia penasaran apa yang ada di baliknya. Ia pun melongokkan kepalanya dan berkata, “Oo, kuburan.” Kemudian ia melanjutkan perjalanannya mencari rumah Pramoedya. Rupanya peristiwa tersebut meninggalkan kesan mendalam dalam benak Sitor sehingga ia pun mengabadikannya dalam sebuah puisi dan menggunakan simbol-simbol “bulan” dan “kuburan” untuk menjelaskan realita malam lebaran yang terjadi pada kebanyakan masyarakat kita. Kata “bulan” menggambarkan kebahagiaan dan kemeriahan malam lebaran. Sedangkan kata “kuburan” menggambarkan kepedihan kaum tak berpunya yang bahkan bingung harus makan apa pada keesokan harinya. Sehingga frase “bulan di atas kuburan” dapat diartikan sebagai keterasingan kaum tak berpunya di antara meriahnya malam lebaran.

Lebaran tidak semestinya digunakan sebagai momentum untuk berhura-hura. Ada yang terlupa bahwa di balik kemeriahan malam lebaran, ada juga ketragisan hidup. Tidak sedikit saudara-saudara kita yang masih harus “berpuasa” dan mengalami kelaparan pada hari bahagia itu. Mereka tidak bisa mudik dan terlibat dalam hiruk-pikuk penyambutan lebaran di kampung halaman. Situasi dan keadaan yang kurang menguntungkan memaksa mereka untuk meniadakan momentum lebaran dalam kamus hidup mereka. Mereka hanya bisa mendengarkan gema suara takbir yang terdengar pilu, sepeti menikmati lengkingan orkestra yang tragis dan menyayat nurani. Pada hari itu, kita juga berpisah dengan bulan yang seharusnya menjadi bulan yang kita nantikan kedatangannya. Kapan lagi kita dapat menemukan bulan di mana setan-setan dibelenggu, pahala diobral besar-besaran, pintu surga dibuka lebar-lebar, serta pintu neraka ditutup rapat-rapat? Bukankah seharusnya kita bersedih?

Ramadhan bukan sekedar bulan di mana kita, sebagai orang beriman, diwajibkan menahan lapar dan dahaga. Pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, kita dapat memperoleh rahmat Allah. Mereka yang ingin mendapatkannya berlomba-lomba meningkatkan amalan baiknya. Pada sepuluh hari kedua, ampunan Allah diturunkan ke bumi. Dan pada sepuluh hari terakhir, ada satu malam yang jika kita mendapatkannya maka kebaikannya sama dengan amalan selama seribu bulan. Malam ini biasa disebut Lailatul Qadr atau disebut malam pembebasan dari siksa api neraka.

Yang lebih sering terjadi di masyarakat kita, justru bukan tangisan sedih ditinggal bulan ramadhan. Pada malam lebaran, hal-hal yang bersifat keduniawian justru semakin penuh sesak. Pasar tradisional, toko sembako, mall-mall, hingga jalan raya, tidak pernah sepi dari hiruk pikuk manusia. Nyaris sama dengan sesaknya hati kaum tak berpunya yang tidak tahu harus membelanjakan apa untuk hari raya pada keesokan harinya.

Kekontrasan tersebut seharusnya berganti dengan renungan dan doa-doa panjang sebagai wujud pengharapan atas ampunan Allah. Itulah yang disebut dengan sebenar-benarnya hari kemenangan, ketika umat manusia berhasil mengalahkan hawa nafsunya dan meningkatkan kualitas diri. Bukan tetap sama saja, sibuk dengan urusan dunia.

No comments:

Post a Comment

Leave your comment here ..