Kemudian kami yang tanpa tujuan itu berjalan menyusuri setiap jengkal jalanan Malioboro. Kami sama sekali tidak berhenti untuk membeli sesuatu di sana. Hahaha, nasib anak nggak punya duit ya begitu itu! Di belakang halte bus Trans Jogja, kami istirahat. Dan, HOREE, rejeki datang. Bayu, temen sekelasku yang mirip sama Umar IMB, bagi-bagi makanan. Sambil makan, kami melihat peta kota Jogja yang terpampang di jalan.
"Meh ning endi ki cah?"
"Saksake wae. Sing penting bareng-bareng."
"Hmm, ngendi yaa.."
"Taman Pintar wae yo."
"Yo wes ayo, ketimbang bingung meh ning endi."
Akhirnya kami melangkahkan kaki menuju Taman Pintar. Makin terus kita jalan, makin banyak polisi di sana. Eh, ternyata kita disambut dengan demo. Mas-mas yang demo nyanyi Indonesia Raya sambil ngangkat-ngangkat tulisan "TURUNKAN SBY!!!" Weleh, weleh. Bagi yang belum pernah liat demo, tentu ini menjadi pemandangan luar biasa. Tapi dulu ketika SD dan SMP aku terbilang kerap terlibat dalam pawai, turun ke jalan, nyanyi yel-yel, angkat spanduk, dll. Meskipun bukan demo, setidaknya suasananya sudah tidak asing dilihat.
Beberapa lama setelah itu, kami sampai di Taman Pintar. Di sana kami bermain di tempat mainan anak TK, kemudian terkagum-kagum pada alat-alat yang dipampang di sana. Hahaha. Setelah itu kami pesan tiket masuk. Karena kami dianggap pelajar, jadi harga tiketnya Rp 8000. Kami akhirnya muter-muter di dalam Taman Pintar, mencoba alat peraga satu-satu sampai puas. Ada yang gayeng di sana! Ogik menciba jadi TV Broadcaster. Trus rekamannya kita copy di flashdisk. Satu pelajaran yang bisa diambil, ternyata menjadi TV Broadcaster tidak terlalu susah, karena tugas kita hanya baca script yang diletakkan tepat di bawah kamera.
Setelah itu kita naik Trans Jogja menuju Ambarrukmo Plaza. Harga satu tiketnya Rp 3000. Di sepanjang perjalanan, kami sepertinya mengganggu ketentraman penumpang di sana. Kita ngakak-ngakak sambil teriak-teriak. Lengkap sudah.
"Eh, itu monumen apa tho?" tanya Ayu.
"Itu kan Monjali, Monumen Jogja Kembali." kata seseorang dari anggota SCIFO.
Kemudian dengan sangat memalukan, Ayu berseru, "Itu Monjali? Ya ampuun, ini baru pertama kalinya aku liat Monjali! Hahaha."
Semua SCIFO ngakak, bahkan penumpang lain di sana juga pada nahan ngakak. Wkwk.
"Ngopo tho? Itu bukan Monjali tho?" tanya Ayu.
"Salahe diapusi gelem!"
Di perjalanan pula, kami lewat universitas impian kami semua, UGM (Universitas Gadjah Mada).
"Eh, ayo kita berhenti di sini. Masuk sana trus ndaftarke nama kita di UGM buat jadi mahasiswa di sana 1,5 tahun lagi." kata Ita.
"Hahaha, lewat jalur undangan.."kataku.
"Undangan opo le le. Kita kan jalur mandiri. Jadi nggak ada ngaruhnya smansa diblacklist dari jalur undangan, soalnya kita udah daftar lewat jalur mandiri."
"Jalur mandiri?"
"Ho.o, kan ndaftar dewe, nerima dewe. Wkwk."
"Hahah, trus bar ndaftar jalur mandiri awak dewe pesen kos kosan ning kene. Ngko SCIFO ngekos bareng."
"Amiin."
Setelah lama menghancurkan ketentraman Bus Trans Jogja, kami sampai di Ambarrukmo Plaza. Kami bingung lagi mau ke mana. Tujuan kami adalah makan siang, tapi makan di mana? Akhirnya rombongan terpecah menjadi dua. Ada yang makan di KFC, ada yang di HokBen. Tapi kebanyakan memang di Hokben, termasuk aku.
"Sumpah nggak enak banget makan pakai sumpit. Kayak dunia kehabisan sendok aja." kataku.
"Aku juga nggak bisa. Ayo berjuang. Sisan latian kalau misal besok jadi murid di Jepang." kata Tika.
"Amiin."
Di HokBen, yang notabene restaurant nuansa Jepang itu, akhirnya aku sukses menghabiskan semangkuk nasi dengan sumpit murni tanpa bantuan sendok. Bangganya minta ampun. Karena sejak dulu sampai usiaku segede ini, aku nggak pernah bisa makan pakai sumpit. -.- Oiya, waktu itu aku pesen yang paling murah, haha, jadi total makan plus minum di HokBen Rp 15000.
Habis itu kita main di Game Fantasia. Seru. Paling seru pas nge-pump. Pokoknya nge-dance nge-dance gitu. Kita bermain seperti orang tolol di sana. Seharusnya cuma dipakai maksimal dua orang, tapi kita main ramai-ramai, kerja sama satu sama lain. Hahaha.
Ketika kami main di Game Fantasia, ada segerombolan mas-mas seumuran dengan kami. Sebagian ada yang pakai celana seragam SMA dengan baju atasan kaos biasa. Mereka bermain game di belakang kami. Main game jotos-jotosan.
Aku pikir, "Ah, biasa anak laki-laki."
Tapi ternyata, setelah itu kami benar-benar melihat mereka jotos-jotosan, tepat di depan mata kami.